Quantcast
Channel: SWA.co.id – Berita bisnis terkini, Diaspora Indonesia, Business Champions, dilengkapi dengan strategi dan praktek bisnis, manajemen, pemasaran, entrepreneur, teknologi informasi, keuangan, investasi, GCG, CSR, profil dan gaya hidup eksekutif.
Viewing all 430 articles
Browse latest View live

Bella Terjun ke Bisnis Mukena

$
0
0

Muda, cantik dan sukses dalam karier sebagai artis. Itulah gambaran sosok Laudia Cynthia Bella. Nama Bella tidak hanya melambung di dunia sinetron dan  film, tapi  dia juga eksis di jagad modelling. Gadis kelahiran Bandung,  24 Februari 1988 ini diam-diam mulai memperlihatkan kebolehannya berbisnis. Sejak November 2014 lalu Bella yang baru – baru ini mengenakan hijab, merilis produk anyar mukena berbahan premium dengan harga di atas Rp 500 ribu/piece yang diberi label sesuai namanya: Laudia. Berikut ini penuturan mantan kekasih aktor  Chico Jericho itu kepada Arie Liliyah dari SWA Online:

laudya c bela

Sejak kapan mulai membangun bisnis mukena ini ?

Sudah sejak november 2014

Apa latar belakangnya hingga tercetus ide berbisnis mukena ini?

Awalnya ibu saya pernah membuat sendiri sebuah mukena untuk saya. Waktu saya pakai shalat di sebuah masjid dan ada orang yang melihat dan bilang mukenanya bagus. Dia tertarik ingin beli, dari situ saya juga jadi tertarik untuk mulai bisnisnya. Saya kemudian bilang ke ibu saya, mukena buatannya banyak yang tertarik ingin beli, bagaimana kalau dibuatkan saja bisnisnya, jadi awalnya by order.

Lalu,saaya pasang foto-fotonya di media sosial, eh ternyata makin banyak yang mau, jadinya sudah nggak by order lagi, kami bikin saja kemudian dilepas ke pasar.

Sekarang produksinya berapa potong per bulan?

Rata-rata di atas 100 potong per bulan

Dibanderol dengan harga berapa mukenanya?

Harganya di atas Rp 500 ribu dengan bahan yang memang saya pilih dari bahan- bahan mutu premium.

Apakah Anda juga ikut terlibat dalam proses produksinya atau menyerahkan ke penjahit?

Jahitan awal ibu saya sendiri, tapi seiring waktu permintaan makin banyak akhirnya kami pakai tenaga penjahit buat membantu. Saya juga sempat pakai jasa konveksi, tetapi karena ini pakai bahan premium ketika dijahit oleh konveksi hasilnya kurang memuaskan. Jadi sekarang yang menangani proses menjahit ibu saya dan seorang saudara ibu, dan beberapa orang penjahit yang dikontrol langsung oleh mereka.

Kalau desainnya apakah mendesain sendiri?

Iya, saya dan ibu yang mendesain samapai mencari bahannya. Saya sendiri memang sangat suka berburu bahan.

Strategi pemasarannya seperti apa?

Pemasarannya saya masih menggunakan media sosial dan toko online. Tetapi nanti, saya berencana membuka toko di Bandung, saat ini sedang dalam proses mendesain toko, rencananya akan mulai buka tahun ini. Saya buka toko itu pun untuk mengakomodasi calon konsumen yang masih kurang percaya dengan belanja online. Kan masih banyak orang yang tidak percaya jual beli online karena takut tertipu.

Apakah ini bisnis pertama Anda?

Tidak, sebenarnya sebelum membuat mukena saya sempat membuat aksesoris dan pakaian ready to wear. Ya,  itu tadi saya hobinya berburu bahan dan mendesain, kemudian didukung ibu yang pintar jahit. Sekarang yang ready to wear dan aksesoris masih jalan, tetapi yang mukena ini membuat saya makin semangat lagi menjalani bisnis ini.

Kenapa tertarik masuk ke dunia bisnis fashion dan aksesoris ini?

Karena saya selalu ingin berkreatifitas, ingin mencoba dunia yang baru diluar profesi saya. Ternyata seru.

Apa yang Anda maksud dengan ‘seru’ dalam dunia bisnis?

Serunya itu ketika produk kita dipakai dan diberi komentar memuaskan, apalagi diposting di sosial media, yang seperti itu yang membuat saya tambah semangat.

Dalam menjalani bisnis ini adakah suka dukanya?

Iya tentu ada, namanya juga bisnis, contohnya kadang ada yang pesan, barangnya sedang dalam proses pembuatan, eh, dibatalin. Yah, itu sempat bikin kesal. Tetapi menuurt saya, masalah apapun itu pasti ada sisi positif dan negatifnya. Jadi dimabil jadi pelajaran saja.

Apakah bisnis mukenanya ini akan dijalankan dengan serius sampai besar?

Saya berniat begitu. Saya sendiri tidak menyangka dari hobi, kemudian iseng membuat mukena jadi bisnis. (EVA)

The post Bella Terjun ke Bisnis Mukena appeared first on SWA Online.


Mimpi Nanda, Alatselam.com Mendunia

$
0
0

Salah satu cabang olahraga yang menantang adalah menyelam. Tak banyak memang yang menggeluti hobi ini meskipun sudah bisa berenang. Seorang penyelam membutuhkan ketenangan dan mental yang kuat saat sedang berada di kedalaman. Itulah pentingnya para penyelam pemula bergabung dengan komunitas selam, seperti Forum Penyelam Mahasiswa Indonesia (FPMI), Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI), Freediver Indonesia, dan National Association of Underwater Instructors (NAUI) yakni organisasi yang menyediakan lisensi untuk kegiatan menyelam. “Anggotanya dari mana saja. Bermacam-macam, mulai dari remaja sampai orang dewasa. Ada juga dari kalangan pekerja serta mahasiswa,” ujarnya.

Lewat komunitas ini, lanjut dia, biasanya ada sesi pengayaan pengetahun dasar tentang menyelam yang kemudian bisa dipraktekkan di sesi lapangan. Kunjungan dan kegiatan menyelam bareng di spot-spot menyelam terbaik di Tanah Air, seperti Wakatobi, Pulau Weh, dan Raja Ampat akan memperkaya pengalaman dan jam terbang sekaligus untuk mengasah mental saat sedang berada di kedalaman. “Komunitas menyelam yang ada sekarang terbentuk secara alami. Ya, karena sama-sama suka menyelam dan setiap kali ada aktivitas menyelam, semuanya terlibat. Anggotanya tersebar dari Sabang sampai Merauke. Jumlahnya mungkin kini sudah ribuan,” kata Nanda Amiruly, Managing Director alatselam.com.

Nanda Amiruly, Managing Director alatselam.com

Nanda Amiruly, Managing Director alatselam.com

Menyelam tak hanya sekadar menyalurkan hobi, tapi juga kerap dibarengi aktivitas lain yang bermanfaat. Seperti, program peduli lingkungan maupun edukasi masyarakat. Misalnya, FPMI kerap melakukan kegiatan pelestarian terumbu karang, serta gerakan penyelamatan ikan hiu (#SaveShark). Ada juga komunitas Freediver Indonesia yang juga sering melakukan hal serupa. “Kegiatan edukasi masyarakat seperti program menjaga terumbu karang dan sumber daya ikan. Jadi, tidak hanya menikmati pemandangan bawah laut, tapi juga tidak boleh memotong terumbuh karang, menangkap atau membunuh ikan yang terancam punah,” ujarnya.

Untuk memasyarakatkan olahraga menyelam, Nanda juga mendirikan toko alat selam. Promosinya dilakukan lewat dua showroom peralatan selam yang terletak di Jakarta dan Denpasar, Bali, serta lewat website alatselam.com. Promosi juga dilakukan lewat kerjasama dengan DiveMagz, majalah khusus untuk penyelam pemula maupun profesional. “Pemesanan bisa datang ke toko langsung, lewat website, telepon, dan SMS. Kami juga kerap memberitahu program promosi lewat milis. Setiap yang belanja, harus memberikan nama, no telpon, dan email. Dari sana, kami memberitahu promo-promo yang ada,” katanya.

Harga satu set alat selam dibanderol Rp 15 juta, sudah termasuk masker, snorkel, tabung, Bouyancy Compensation Device (BCD), regulator untuk bernapas lewat mulut, fin (kaki katak untuk mempercepat gerakan saat berenang di dalam air), dan belt (semacam ikat pinggang yang terbuat dari logam). “Tapi, kami juga menyediakan paket hemat untuk penyelam pemula yang hanya sekadar untuk liburan, yakni paket masker, snorkel dan fin. Ke depan, kami ingin toko selam ada di semua kota di Indonesia,” ujarnya.

The post Mimpi Nanda, Alatselam.com Mendunia appeared first on SWA Online.

Ini Rahasia Magfood Berjaya di Bisnis Kuliner

$
0
0

Yanty Melianti Isa mungkin tak pernah menyangka Magfood yang berdiri sejak 2001 silam bisa menjadi besar seperti sekarang. Dari awalnya menyediakan bumbu masakan dalam bentuk bubuk, PT Magfood Inovasi Pangan kini telah memiliki anak perusahaan, yaitu PT Magfood Amazy International. Magfood Amazy menyediakan hidangan makanan ayam krispi yang dipasarkan lewat restoran dan juga gerobak. Total, sudah ada 135 outlet yang terdiri dari 130 restoran dan 5 gerobak dengan penghasilan sekitar Rp 4,9 miliar sepanjang tahun 2013 lalu.

Direktur Utama Magfood Inovasi Pangan, Suwanto, mengisahkan, Magfood berdiri pada tahun 2001 sebagai produsen penyedia bumbu untuk makanan dalam bentuk bubuk. Produknya antara lain tepung bumbu, bumbu masak, bumbu bakso, dan bumbu makanan ringan. Sang pemilik, Yanti, berinovasi dengan membuat tepung bumbu untuk ayam goreng (fried chicken).

“Tahun 2003, kami membangun lini bisnis baru berupa pengembangan tepung bumbu fried chicken, yakni Magfood Red Crispy. Kami berhasil memiliki sampai 270 outlet berbentuk gerobak hingga tahun 2007. Produk kami pertama kali muncul dalam bentuk gerobak. Di situ, promosinya dengan membagikan brosur serta banyak mengikuti pameran,” katanya kepada SWA.

Sumanto, President Director PT MagFood Inovasi Pangan

Sumanto, President Director PT MagFood Inovasi Pangan

Sukses lini bisnis tersebut rupanya ditiru banyak orang. Mendadak muncul banyak usaha sejenis. Tidak mau terkapar di tengah kerasnya persaingan di industri makanan, Magfood Red Crispy bertransformasi menjadi Magfood Amazy, menawarkan konsep baru dalam bentuk restoran. Menu yang ditawarkan pun bukan hanya ayam dan kentang, tetapi juga menu semi fast food. “Outlet kami sudah 135 buah. Dengan konsep waralaba, yang terdiri dari 5 gerobak dan 130 restoran dan mini restoran yang menawarkan 22 menu. Yang kami punya sendiri ada 10 restoran,” kata Suwanto.

Cukup sampai di situ? Tentu saja tidak. Magfood Amazy kembali berinovasi dengan menawarkan menu baru setiap tiga bulan. Pada saat bersamaan, menu yang jarang dipesan pelanggan ditinggalkan. Khusus di Magfood Inovasi Pangan sendiri, lanjut dia, sudah tercipta 4 bumbu baru sehingga total produk bumbu mencapai 42 buah.

“Kami juga memikirkan aspek keamanan untuk setiap hidangan yang disajikan di restoran. Banyak produsen makanan sekarang kurang memperhatikan tingkat keamanan makanan mereka. Dalam mencari supplier, kami memberikan persyaratan seperti sertifikat analisis (CoA) dan sertifikasi halal,” ujarnya.

Hingga saat ini, Magfood Amazy masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan Magfood Inovasi Pangan, yakni Rp4,9 miliar hingga akhir tahun 2013. Untuk lini bisnis di luar itu, perseroan mereguk pendapatan Rp3,5 miliar. “Kami tumbuh 15% dari tahun 2011 hingga 2012. Pertumbuhan setahun berikutnya naik menjadi 20%-an. Targetnya, kami memiliki 500 outlet hingga tahun 2019 mendatang,” ujarnya.

The post Ini Rahasia Magfood Berjaya di Bisnis Kuliner appeared first on SWA Online.

UMKM Indonesia Masih Bergerak di Sektor Informal

$
0
0

Banyaknya pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia yang muncul dan tenggelam, menjadi perhatian bagi TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang bekerja sama dengan AKATIGA, sebuah lembaga penelitian non-profit yang berdiri sejak tahun 1991, untuk melakukan studi dalam rangka merancang ulang kebijakan UKM di Indonesia.Peningkatan-Produk-UMKM

 

Penelitian tersebut memberikan pemahaman yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan UKM menghadapi kendala usaha dan mencoba untuk merekomendasikan langkah-langkah untuk mengurangi kendala tersebut. Menurut Indrasari Tjandraningsih, peneliti dari AKATIGA, ada tiga kendala yang dihadapi oleh pelaku UKM. “Yang pertama harga bahan baku yang tidak stabil. Selain harga juga terkadang ketersediaan bahannya tidak menentu. Kedua, kurangnya tenaga kerja yang terampil. Dengan tenaga kerja seadanya akan sulit bagi UKM untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dan, yang ketiga adalah pelatuhan yang diberikan oleh pemerintah terlalu mendasar. Padahal kebutuhan UKM saat ini sudah semakin kompleks,” katanya.

Ari Perdana, Ketua Pokja Kluster 3 TNP2K, menambahkan, saat ini masih banyak pelaku UMKM yang memilih untuk tetap informal. “Permasalahaannya bukan hanya tiga hal tadi, tapi juga banyak yang lebih memilih untuk tetap informal. Dalam artian mereka tidak memiliki CV atau PT. Dengan demikian akan sulit bagi pemerintah untuk mendeteksi dan memantau yang akan berpengaruh terhadap pemasukan pajak negara,” ujarnya.

Menurut Ari, pelaku UMKM lebih memilih untuk tetap informal dikarenakan mereka tidak melihat benefit yang bisa mereka dapatkan ketika usahanya sudah legal di mata hukum. “Di negara kita ini kan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa adanya oknum yang merugikan pengusaha. Mereka (pengusaha) sering berpikr kalau mereka sudah bayar pajak tapi tetap saja ada oknum, apakah itu dari preman setempat atau mengatasnamakan ormas tertentu, yang meminta jatah,” papar Ari.

Terkait dengan lembaga yang membina para pelaku UMKM, Ari menjelaskan lebih lanjut bahwa setiap kementrian di Indonesia melakukan pembinaan UMKM di masing-masing kementriannya. Dengan demikian, kementrian menjadi kurang fokus dalam melaksanakan tugasnya. “Contohnya kementrian kelautan kan ada binaan untuk pelaku UKM yang bergerak di bidang budidaya ikan atau produk hasil laut, kemudian di perindustrian ada lagi UKM di bidang garment dan lain sebagainya. Menurut saya dibuat saja satu untuk mengurus UMKM ini dan kementrian bisa fokus membuat peraturan yang bisa mendukung UMKM tersebut,” lanjut Ari.

Dari hasil temuan riset tersebut juga ditemukan bahwa dana bantuan dari peerintah sering kali tidak mencapai seluruh pelaku UKM yang ada. Hal tersebut diakibatkan adanya ketidak tahuan dari pemerintah terhadap UKM yang ada di Indonesia. “Karena ketidak tahuan, maka biasanya yang mendapat dana bantuan itu hanya pelaku yang memiliki hubungan atau dekat dengan orang-orang dari kementrian atau dinas-dinas yang ada di daerah. Mungkin ini terjadi karena sama seperti bank yang tidak mau mengambil resiko. Istilahnya orang lebih suka investasi pada ikan yang sudah gemuk. Tapi masalahnya kalau setiap orang maunya investasi ke ikan yang gemuk, maka ikan yang masih kecil ini kapan bisa gemuknya,” ungkap Ari.

Untuk menjamin agar dana bantuan tersebar merata, Ari berpendapat bahwa dana tersebut sebaiknya diserahkan kepada lembaga keuangan yang sudah berpenaglaman dalam mengelola dana. “Lembaga keuangan kan pasti tahu UKM mana saja yang membutuhkan,” tutupnya.

The post UMKM Indonesia Masih Bergerak di Sektor Informal appeared first on SWA Online.

Achdiat Farid Berbisnis Tas Unik dengan Modal Ratusan Ribu

$
0
0

Tidak ada salahnya mencoba berwirausaha sembari menyelesaikan studi. Itulah yang dijalankan anak muda kelahiran 20 tahun silam ini. Achdiat Farid, mengaku sedang menikmati masa – masa membesarkan bisnis tas fashion yang diberi nama Radusa, walaupun saat ini ia sedang bergulat menyelesaikan studi sarjana hukumnya di Universitas Padjajaran.

diat radusa

Adapun ide menjalankan bisnis tas ini sebenarnya sudah lama dipendam Achdiat, tapi  baru bisa benar – benar diwujudkan pada pertengahan tahun 2014 lalu. Ia mengaku, pada saat itu keadaan memang sedang pada masa buruk – buruknya, dimana ia mulai harus bisa membiayai hidupnya sendiri karena ayahnya sebagai tulang punggung keluarga telah terlebih dahulu meninggalkannya. “Saya harus memutar otak supaya dapat penghasilan,” ujar  Achdiat, meskipun terlahir sebagai anak terakhir, namun keukeuh untuk bisa menuai penghasilan sendiri.

Bermula dengan modal sejumlah Rp 800 ribu, Achdiat memberanikan diri membuat beberapa model tas, dengan dominasi komponen kayu dan tali sebagai pembeda. Namun sayang perjalanannya tidak langsung semulus ekspektasinya, dimana banyak orang yang meragukan model tas tersebut akan laku.

“Di awal itu saya merasakan banyak hinaan dan disepelehkan. Banyak yang menganggap tas ini tidak akan laku, karena modelnya aneh. Tapi saya tidak menanggapi, saya tetap bangga dan percaya diri dengan karya saya. Dalam hati saya percaya yang penting saya melangkah dan berkarya, Insyaallah ada jalan dan rezeki,” terang Achdiat kepada Swaonline.

radusaTidak berhenti di situ saja, ia juga memantapkan langkahnya menggeluti bisnis kreatif ini dengan menampikkan sejumlah keraguan dari orang – orang sekitar kala ia hendak mengikuti event Pasar Seni ITB.

“Ada yang bilang bayar stand di sana mahal, terus apa bisa balik modal? Tapi, saya tetap yakin tas saya akan laku, sehingga saya beranikan untuk pinjam uang ke beberapa teman untuk menyewa tempat disana,” lanjutnya. Dan, alhasil seperti yang dituturkannya, dagangan tasnya ludes. Dari situlah ia menyimpulkan bahwa, ia telah mendapatkan segmentasinya, dijajarkan dengan varian produk yang dikreasikannya.

Saat ini, Achdiat telah memunculkan total delapan varian tas dengan beberapa beberapa corak yang dibanderol dari Rp 190 ribu sampai dengan Rp 290 ribu. Adapun untuk beberapa penamaan untuk tiap varian,  ia menyematkan dari nama gunung, seperti Kilimanjaro, Fujiyama, Jayawijaya dan Carstensz. Sementara sisanya antara lain Kalimantan, Mojito, Samade, dan Duraesa. Dari beberapa varian ini, yang membedakan adalah dari sisi motif, serat sueden, serat tiap komponen, serta warnanya.

“Yang utama dari produk saya adalah tas, dengan konsep tas untuk liburan santai, bukan untuk membawa barang yang banyak. Meskipun dominasi produknya pada komponen kayu dan tali, namun saya juga memproduksi tas tas biasa, hanya untuk meramaikan bisnis,” ungkap anak muda yang juga gemar melancong ini.

Mengenai pemasarannya, keaktifan dan kreativitas dalam memanfaatkan jejaring sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan Path, menjadi modal besar Achdiat mendekatkan produk kreasinya kepada khalayak. Tak segan, ia juga mengajak pembeli maupun rekannya untuk berfoto mengenakan tas Radusa dengan berlatar pemandangan alam, seperti pantai, gunung, sungai, dan tebing. Untuk semakin memantapkan penetrasi jualannya, Achdiat juga bahkan kerap turun langsung berpose bersama buatan tangannya.

Saat ini, meskipun secara fisik tokonya masih terpusat di Bandung,  order yang didapat silih berganti datang dari berbagai belahan Indonesia. Bahkan tidak tanggung – tanggung, sejumlah pelancong asingpun banyak yang kesengsem dengan kekhasan produknya. Ia pun langsung mengambil peluang emas ini dengan melayani pembelian secara online dari website-nya, radusastore.com , ataupun dari eCommerce tempat ia menitipkan barang. “Untuk eCommerce saya telah bekerja sama dengan Berrybenka,” katanya.

Karena itu,  dirinya pun berani mengambil ancang – ancang untuk membuka gerai di sejumlah tempat wisata andalan Indonesia, seperti Bali, Derawan, dan beberapa tempat lainnya, seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan baik domestik maupun asing. Rencananya, Achdiat akan meluaskan segmen industri kreatifnya dengan merambah pada baju, sepatu, dan aneka kerajinan tangan lainnya.

The post Achdiat Farid Berbisnis Tas Unik dengan Modal Ratusan Ribu appeared first on SWA Online.

Cyril Noerhadi, Tinggalkan Dunia Profesional dan Bangun Private Equity

$
0
0

Cyril Noerhadi yang sudah berpengalaman selama 23 tahun sebagai profesional dalam bidang industri jasa keuangan di di Indonesia kini berpindah jalur menjadi seorang wirausaha dengan membangun sebuah bisnis private equity bernama Creador sejak September 2011. Cyril cukup lama menjalani karier sebagai Chief Financial Officer Medco Energy, yaitu sejak tahun 1999 hingga 2005. Di tahun 1999 juga, Noerhadi berperan sebagai Corporate Finance di PricewaterhouseCoopers Indonesia. Di lembaga konsultan global ini dia banyak terlibat dalam sejumlah rekstrukrisasi perusahaan, akuisisi dan penjualan aset, valuasi dan due dilligence, serta menjadi penasehat keuangan perusahaan. Sebelumnya, Cyril pernah menjabat sebagai Ditektur Utama PT Bursa efek Jakarta tahun 1996 -1999 saat usianya baru 37 tahun. Kini Doktor bidang Manajemen Strategis Universitas Indonesia itu tengah sibuk membangun perusahaan barunya, yakni Creador. Apa dan bagaimana Cyril menjalani profesi barunya ini? Berikut wawancara reporter SWA Arie Liliyah dengan Cyril Noerhadi.

Bagaimana mulanya tercetus pemikiran menjalankan usaha private equity?

Creador itu berdiri September 2011. Waktu itu saya berpikir, Indonesia ini kan negara berkembang yang membutuhkan banyak investasi, sehingga bisa menciptakan lapangan kerja baru. Saya kemudian bertemu dengan seseorang bernama Brahmal Vasudevan. Dia adalah orang Malaysia yang memiliki pengalaman 11 tahun menjadi investor private equity di India. Saya bertemu dia waktu saya masih bekerja di Pricewaterhouse Coopers, dan Bramal menceritakan cita-citanya untuk membangun private equity yang regional di Asia. Konsep ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya selama 11 tahun menetap berpindah-pindah di negera-negara Asia sambil membesarkan private equity miliknya yang bermarkas di India.

Maka kami memutuskan untuk membangun Creador di Indonesia, Bramal sebagi founder Creador, dan saya menjadi partnernya di Indonesia.

Cyril Noerhadi. Tantanganya dalam bisnis private equity ini adalah ketika mendapatkan banyak investor, kemudian kita harus pandai memilih dan memilah kemana uang mereka akan ditanamkan.

Cyril Noerhadi. Tantanganya dalam bisnis private equity ini adalah ketika mendapatkan banyak investor, kemudian kita harus pandai memilih dan memilah kemana uang mereka akan ditanamkan.

Apa yang membuat anda memutuskan berpindah jalur dari profesional menjadi wirausaha di bidang private equity?

Saya melihat begini, private equity itu kombinasi dari dua hal, wirausaha dan profesional. Jadi semangat wirausahanya kan mencari profit, kemudian skill profesionalnya adalah membangun model bisnis. Semua bia kita pelajari dengan modal pengalaman di dunia profesional, di mana dunia profesional saya juga di bidang keuangan dan investasi.

Apa pengalaman berbeda yang Anda alami antara dunia profesional dan entrepreneur?

Membangun private equity ini ternyata beberbeda dengan pengalaman profesional saya. Sebelumnya, ketika saya masih bergabung di Medco sebagai Group CFO, yang dilakukan adalah membeli aset di mana-mana, tapi tidak untuk dijual. Kebalikannya, ketika saya masuk ke bisnis ini prinsipnya adalah harus bisa mengerti kapan saatnya berinvestasi dan kapan saatnya menjual kembali. Jadi, waktu kita membeli aset, saat itu juga sudah harus dipikirkan bagaimana menjualnya nanti.

Berapa jumlah fund pertama yang didapat?

Kami mulai dengan fund pertama, waktu itu kami dapat US$ 130 juta di tahun 2011, kemudian tahun 2012 kami dapat dana US$ 330 juta.

Fund pertama dari mana datangnya?

Fund pertama 40% dari Amerika Utara, 30% dari Eropa, 25% Asia dan 10% Australia

Dari segi jenis lembaganya, darimana lembaga apa saja investor itu?

Kalau dari segi jenis lembaganya ada yang perushaan keluarga, lembaga pendidikan, dana pensiun dan beberapa invidu.

Tadi anda mengatakan ada fund dari dana pensiun yang mana mereka umumnya lebih suka memilih negara triple A, lalu mengapa sekarang mereka mau memilih Indonesia?

Memang betul, pension fund itu disetiap negara mempunyai aturannya masing-masing. Ada saja pension fund yang sudah besar inevsatsinya di negara maju suatu saat mereka juga akan melihat bahwa berinvestasi di negara berkembang juga penting.

Hingga saat ini sudah berapa kali Creador melakukan investasi ?

Sudah 15 kali, dan yang exit sudah ada dua dengan yield-nya di atas rata-rata.

Apa tantangannya dalam membangun bisnis ini?

Tantanganya dalam bisnis private equity ini adalah ketika mendapatkan banyak investor, kemudian kita harus pandai memilih dan memilah kemana uang mereka akan ditanamkan. Karena harus dipilihkan inevestasi yang cocok dan tepat tidak bisa dipaksakan untuk cocok.

Sektornya apa saja?

Creador lebih fokus ke sektor consumer good, perbankan, kesehatan seperti apotik, laboratorium, produsen obat, logistik kapal, warehouse, dll. Kami mencari yang cocok antara pemiliknya dengan konsep kami. Creador juga tidak hanya investasi di perusahaan private tetapi juga yang publik.

Apa prinsip anda dalam membesarkan bisnis ini?

Dalam membesarkan bisnis ini saya berprinsip seperti pangeran yang mencari katak, dan ketika katak itu dicium ia berubah wujud jadi putri cantik, nah kira-kira seperti itu hehe….

The post Cyril Noerhadi, Tinggalkan Dunia Profesional dan Bangun Private Equity appeared first on SWA Online.

Lyra Puspa, Membangun Teknik Coaching Bisnis Ala Indonesia

$
0
0

Setelah memutuskan berhenti dari profesi sebagai eksekutif disebuah perusahaan tahun 1999 , Lyra Puspa bersama sang suami memutuskan untuk membangun bisnis sendiri. Suami isteri yang sama-sama mengantongi gelar MBA dari PPM School of Management tahun 2000 itu kemudian mulai membangun bisnis warung telepon (wartel) yang  sangat booming di masa itu. Setelah berjalan 3 tahun skala bisnisnya membesar, konsepnya pun menjadi integrasi antara wartel, warnet, jasa foto copy dan kebutuhan perlengakapan kantor lainnya, hingga akhirnya sayap bisnisnya berkembang hingga ke bidang otomotif, properti, dan sebagainya.

Kini Lyra telah membangun sebuah lembaga coaching bisnis yang diber nama Vanaya Institute, tetapi apa latar belakangnya berpindah jalur dari pebisnis menjadi coach bisnis? Bagaimana lika-likunya menjadi coach? Berikut kutipan wawancara reporter SWA Online, Arie Liliyah dengan Lyra Puspa di Jakarta (7/4).

Lyra Puspa Founder Vanaya Institute

Apa yang melatar belakangi Anda mendirikan lembaga coaching bisnis?

Jadi setelah saya dan suami membangun beberapa bisnis kami, kami berdua jadi sering diminta menjadi pembicara di seminar-seminar wirausaha, itu sangat tren mulai tahun 2005-2006. Kami jga jadi mentor untuk membina UMKM dalam bentuk workshop dan lain sebagainya. Dari sana saya menemukan bahwa persentase UMKM yang bisa “naik kelas” setelah ikut seminar atau pelatihan itu sangat kecil sekali, dari 10 mungkin hanya 1-2 UMKM yang bisa naik kelas.

Saya lalu bertanya-tanya, apa ada yang salah dengan seminar dan pelatihan? Ternyata kuncinya ada pada diri si pelaku usaha itu sendiri. Maka saya mencari metode apa yang paling pas untuk menumbuhkan potensi dari si pelaku usaha itu sendiri, bukan bimbingan soal teknis berbisnis tetapi menggali kelemahan dan kekuatan diri sendiri. Akhirnya saya temukan coaching.

Bagaimana mulanya Anda membangun Vanaya Institute? Apakah Anda harus memiliki lisensi atau sertifikasi khusus?

Jadi setelah megikuti coaching yang pertama, saya merasakan damapaknya powerfull, lalu saya bicarakan dengan tiga orang rekan yang masih jalan bersama membangun Indonesia Bisnis Forum saat itu. Jadi tepatnya tahun 2007 kami bangun Vanaya Institute, tetapi hingga tahun 2012 kami masih terus mengekplor metode yang tepat dan lembaga yang bisa kami gandeng. Saya lalu keliling mengikuti coaching dari berbagai lembaga sampai akhirnya ketemu Erickson Collage International yang bermarkas di Vancouver Kanada. Saya sendiri kemudian mendapatkan sertikat sebagai coach dari International Coach Federation.

Mengapa memilih menggandeng Erickson Collage International?

Ini tujuannya agar kami bisa memberikan coaching yang terstandar, tersertifikasi dan kredibel. Karena di Indonesia ada banyak yang menyelenggarakan coaching tetapi belum tersertifikasi dan kredibel.

Apa perbedaan mendasar antara coaching dan motivasi bisnis?

Jadi perbedaan mendasarnya adlah pada metodenya. Dalam coaching yang dilakukan adalah menjalin komunikasi yang indepth agar seseorang bisa memetakan sendiri masalah atau tantangannya kemudian menemukan sendiri solusi untuk mencapai tujuan baik pribadi maupu organisasi. Sedangkan motivator dalam seminar misalnya, memberikan motivasi dan bahkan solusinya.

Setelah 8 tahun menjalankan coaching untuk berbagai skala bisnis, apa permasalahan yang paling sering dihadapi para pebisnis berdasarkan kelas bisnisnya?

Setiap level bisnis berbeda masalahnya. Kami pernah melakukan pendampingan untuk yang level super mikro, yang penghasilannya sekitar Rp 20 ribu per hari, mereka umumnya berpendidikan rendah. Ini secara umum masalah mereka adlah soal mengenal dan menghargai diri sendiri, terutama untuk pelaku usaha mikro yang peempuan, mereka mendapat tantangan terutama soal apresiasi dan dukungan dari suami. Bahkan mereka yang menjadi tulang punggung keluarga.

Lalu di level kedua, ini kelas UKM, jadi skala bisnisnya kecil menengah dan menengah. Mereka umumnya sudah berpendidikan tinggi, SLTA atau sarjana. Di kelompok ini maslah mereka umumnya soal management waktu dan masalah konsistensi mengikuti aturan dalam manajemen resiko.

Kemudian untuk mereka yang skala bisnisnya sudah menengah ke atas atau sudah besar, mereka menghadapi masalah bisnis yang umum, seperti produktivitas, kompetisi, wealth achievment serta menjaga keseimbangan antara bisnis dan kehidupan pribadi.

Apa tantangannya menjadi seorang coach ?

Sebenarnya tantangan dalam oaching itu justru jadi penyemangat saya. Contohnya soal komunikasi, saya pernah harus menemukan metode yang tepat untuk meng-coaching klien saya yang tuna rungu. Itu tantangan yang membuat saya lebih semangat mengeksplor metode-metode baru.

Apa impian yang masih ingin dicapai dalam dunia coaching ?

Sejauh ini metode coaching masih berkiblat ke barat. Saya ingin membuat metode yang berakar dari budaya Indonesia, sehingga lebih mengena dengan latar belakang budaya dan cara berpikir klien yang orang Indonesia, dan tumbuh besar dengan budaya Indonesia. (EVA)

The post Lyra Puspa, Membangun Teknik Coaching Bisnis Ala Indonesia appeared first on Majalah SWA Online.

Nadiem Makarim, Juragan Ojek Profesional

$
0
0
Nadiem Makarim, Founder dan CEO Go-Jek

Nadiem Makarim, Founder dan CEO Go-Jek

Dulu, profesi tukang ojek dianggap sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan bagi sebagian kalangan, apalagi dengan penampilan yang apa adanya dan motor yang kurang perawatan, seolah menambah profesi ojek sebagai profesi ‘jalan akhir’ dari segala profesi yang sudah pernah digeluti. Kini, dengan sentuhan Nadiem Makarim profesi ojek punya daya tawar sendiri di mata publik. Penampilan yang kumel dengan kondisi motor yang kurang perawatan tidak lagi ditemui.

“Kami bukan perusahaan logistik, atau transportasi, Kami adalah perusahaan aplikasi yang bermisi sosial membantu menyejahterakan profesi ojek, “ungkap pendiri sekaligus CEO Go-Jek, Nadiem Makarim ke pada SWA Online di Jakarta.

Pria kelahiran 4 juli 1984 ini menjelaskan, sejak resmi berkibar dengan aplikasi Go-Jek pada bulan Maret 2014, pertumbuhan bisnisnya sangat signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya pengunduh aplikasi dan jumlah pengemudi atau driver Go-Jek yang berjumlah hingga 3000 driver di Jabodetabek dan semuanya terhubung ke sistem booking mobile. Kehadiran Go-Jek sudah menjadi solusi terpercaya bagi warga Jakarta untuk berpergian di tengah kemacetan, mengirim barang, dan juga berbelanja

Sebelumnya, Nadiem mengaku kostumer masih menggunakan cara konvensional lewat telepon atau kirim pesan untuk dapat merasakan layanan dari Go Jek.

Ketika disinggung soal omzet, dengan alasan rahasia perusahaan, Nadiem belum mau menjelaskan berapa jumlah pertumbuhan bisnisnya. “Terkait angka, baik itu omset, modal investasi hingga laba perusahaan, saya belum bisa untuk menjelaskannya. Belum saatnya, nanti ya. Yang jelas visi kami tidak hanya sekadar mengejar profit semata, tapi ikut serta mensejahterakan tukang ojek, itu yang menjadi kebanggaan dan kebahagiaan kami dalam berbisnis,” ungkap pria berkacama yang juga mantan direktur Zalora itu.

Terus bergerilya mengajak para ojek untuk bergabung dan menyebarkan informasi positif lewat komunitas ojek, merupakan langkah strategis bagi Nadiem dan tim Go-Jek untuk melebarkan jangkauan bisnis. Dengan pembagian profit yang sangat proposional dan menguntungkan sebesar 20% untuk driver dan 80% untuk managemen Go-Jek, dinilai Nadiem sebagai langkah dasar untuk menambah penghasilan driver ojek.

Ke depan, lulusan MBA Harvard Business School ini, akan mengembangkan sayap bisnisnya keberbagai wilayah di Indonesia. Saat ini, selain Jabodetabek yang sudah merasakan manfaat Go-Jek adalah Bandung dan Bali. Tidak hanya antar jemput dan pengiriman barang saja yang bisa digunakan dengan aplikasi Go-Jek, pelanggan pun kini sudah dapat dilevery order makanan lewat fitur Go-Food dalam aplikasi Go-Jek. (EVA)

The post Nadiem Makarim, Juragan Ojek Profesional appeared first on Majalah SWA Online.


Joseph Phua Berbisnis Biro Jodoh Online

$
0
0

Patah hati, tidak selalu berakhir dengan sakit hati atau dendam. Setidaknya itulah yang dirasakan Joseph Phua, CEO dan Founder Paktor. Aplikasi mobile ini, merupakan aplikasi yang berfungsi mempertemukan lawan jenis yang belum memiliki pasangan alias biro jodoh online.

IMG_3220

Josep Phua CEO dan Founder Paktor

Pria lulusan New York University’s Stern School of Business dalam bidang finansial ini justru memiliki ide untuk mendirikan Paktor setelah kisah cintanya selama 8 tahun kandas di tengah jalan. “Saya merasa amat kesulitan saat memulai perkenalan atau hubungan dengan lawan jenis, setelah putus”.

Awalnya ia mengamati berbagai situs dan aplikasi mobile, yang berfungsi mempertemukan orang-orang baru. Namun perbedaan kultur antara orang Barat dan Timur ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar dalam situs dan mobile aplikasi yang ada saat itu.

“Orang Asia cenderung lebih pemalu dan takut untuk ditolak, bahkan di dunia maya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan orang Barat, sehingga situs dan aplikasi mobile yang ada pun terasa tidak cocok”.

Melihat hal ini, pria yang mengambil gelar MBA di Chicago’s Booth School of Business, pun memmutuskan untuk membuat aplikasi mobile yang cocok dengan kultur dan perilaku orang Asia. Keinginan awalnya adalah membantu dirinya sendiri dalam berkenalan dengan lawan jenis, namun aplikasi mobile yang diluncurkan Juli 2013 ini  justru memiliki banyak peminat.

Paktor kini memiliki 2, 5 juta pengguna di Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, Taiwan, Hong kong, Korea, Jepang, India, dan Indonesia.”Pengguna Paktor bisa menghabiskan waktu 13 jam dalam sebulan, untuk menggunakan berbagai fitur yang ada di dalam aplikasi mobile ini. Kami pun yakin bisa menjadi aplikasi mobil sosial yang terdepan di Asia” Jelasnya bangga.

Di Indonesia sendiri, Paktor telah masuk sejak Januari 2015, dan telah memiliki 500.000 pengguna. Menurut Joseph Phua, Indonesia merupakan salah satu pasar yang potensial. Selain mulai tingginya pengguna smartphone di Indonesia, masyarakat Indonesia juga mulai merubah pola pikir mereka, dalam berhubungan dengan orang lain melalui aplikasi mobile, terutama kaum muda.

Ia pun menambahkan bahwa penekanan pada faktor anonimlah, yang mambuat aplikasi asal Singapore  ini sangat diminati masyarakat Asia. “Lawan terberat kami saat ini adalah Tinder, namun kami sangat percaya diri untuk mampu menggungguli Tinder di wilayah Asia. Dalam aplikasi mobile ini, pengguna akan bisa saling memfollow apabila mereka saling suka. Apabila Anda tertolak, yang menolak pun tidak akan bisa melihat akun Anda. Faktor inilah yang membuat Paktor mampu mengungguli Tinder di wilayah Asia”.

Ia pun mengakui bahwa awalnya ia terinspirasi dari Tinder, namun perbedaan kultur Barat dan Timur justru memberikan celah bisnis baginya. Aplikasi mobile Tinder, dirasakan kurang cocok bagi masyarakat Asia. Ia pun berfikir bahwa seharusnya, masyarakat Asia memiliki aplikasi mobile yang cocok dengan kepribadian mereka agar mampu menemukan lawan jenis yang tepat.

Penggunaan Paktor pun tidak terlalu berbeda dengan Tinder. Salah satunya adalah dengan seleksi ketat pertemanan di lingkungan pengguna melalui Facebook.”Untuk dapat menggunakan akun di Paktor, pengguna setidaknya harus memiliki 50 teman di Facebook. Semua data pribadi yang ada Paktor diambil dari Facebook, mulai dari foto hingga data-data pribadi pengguna”.

Menurutnya, banyak pengguna aplikasi mobile yang menggunakan data pribadi atau akun palsu. Penggunaan data dari Facebook dilakukan untuk mencegah hal tersebut. “Kami juga mendapati bahwa kebanyakan pengguna lebih nyaman untuk berkenalan dengan orang-orang yang lingkungannya tidak jauh berbeda dari mereka.” Pengambilan data ini juga dilakukan, dalam mencari pasangan yang tepat bagi pengguna, aplikasi mobile ini.

Sebelum mendirikan Paktor, Joseph Phua sempat bekerja di Mckinsey dan Cityggroup serta menjalankan bisnis di Beijing juga Shanghai selama beberapa tahun. Kini dengan 2, 5 pengguna, ia pun berfokus pada pengembangan Paktor baik pengguna maupun perluasan wilayah penggunaan aplikasi mobile ini. (EVA)

The post Joseph Phua Berbisnis Biro Jodoh Online appeared first on Majalah SWA Online.

Kakak Beradik Mengibarkan Renata & Robyn Atelier

$
0
0

Berawal dari ide untuk membuat residential line dari Citra Cipta Bika dan kecintaan mereka akan dunia interior dan seni, pasangan kakak beradik, Renata Lukmito dan Robyn Lukmito, menciptakan sebuah rumah desain Renata & Robyn Atelier. Nama Atelier sendiri terinspirasi dari pengalaman Robyn yang dulu pernah bersekolah dan bekerja di Paris, yang artinya private workshop, saat itu dia melihat seniman-seniman dengan anak didik mereka bekerja sambil berkarya di sebuah atelier.

62c49d9860e9214c45af30ef66c7685fSingkat cerita, mereka terinspirasi dengan hal tersebut dan membuat sebuah studio kecil sehingga orang bisa bekerja sambil menunjukkan keahliannya dalam bidang masing-masing. Dengan konsep tersebut, RR Atelier yang dibangun oleh mereka berdua beserta tim desainer, mencerminkan selera dan identitas dari kakak beradik tersebut.

Didukung dengan lingkungan bisnis keluarga yang juga bergerak dalam bidang high-end interior dan furnitur, membuat dunia interior sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari sejak kecil. “Kami di dunia ini sudah 30 tahun,” ujar Renata.

RR Atelier dibangun untuk menunjukkan bahwa luxury furniture buatan mereka memiliki kualitas dan desain yang tidak kalah dengan furnitur buatan luar negeri. “Kami ingin mengharumkan nama Indonesia. Kami masih mau lebih besar dan berpengalaman, dan juga berencana bekerja sama dengan arsitek indonesia juga,” ungkap Robyn.

Simak hasil wawancara dari reporter SWA Online, Ferdi Julias Chandra, dengan dua dara cantik tersebut berikut ini.

Bagaimana latar belakang mendirikan Renata & Robyn ini?

Kami terjun di dunia ini sudah 30 tahun, cuma lebih bergerak ke bidang hotel. Tapi sekarang kebanyakan klien yang minta dibuatkan rumah.

Bagaimana konsepnya?

Setiap lantai kami beda style, lantai pertama lebih ke Perancis style, lebih santai. Lantai dua lebih modern, lebih maskulin.

Untuk produksi, bahan apa yang digunakan? Apakah bahan impor atau lokal?

Kayu lokal sudah sangat terbatas, jadi kami beberapa harus impor dari Eropa, Amerika, dan lain-lain, karena selera kekerasan kayunya juga setiap orang berbeda-beda. Keunggulannya disini adalah kita buat sendiri tergantung dengan permintaan customer.

Di mana pabriknya? Ada berapa buah?

Di Tangerang, ada satu. Semua finishingnya masih hand made. Kami mengedepankan kualitas daripada speed.

Bagaimana dengan target market?

Target marketnya high end, untuk luar dan dalam negeri. Ini soft launching, baru pertama dilihat secara umum.

Ekspornya sudah kemana saja?

Ke Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Singapura, dan Malaysia, yaitu untuk klien hotel dan residensial, dan ini juga digerakkan dengan demand, dan paling banyak untuk hotel.

Berapa range harganya?

Enaknya di tempat kita, kita bisa customize sesuai budget. Jadi semua tergantung konsumen. Kecuali ada beberapa klien yang mau seperti kayu eksotis, Jadi rangenya banyak. Kita lebih ke interior.

Bagaimana dengan klien? Mana yang permintaannya paling banyak?

Kami spesial furniture, untuk yang RR ini. Jadi kita kumpulin beberapa vendor, jadi seperti one stop shopping yang membuat rumah, jadi bisa pilih all the best vendor di Jakarta.

Seberapa besar pasarnya?

Sangat bagus prospek bisnisnya, kami bisa bikin barang – barang kualitas impor, jadi kenapa kita harus impor. Intinya market lagi bagus banget.

Bagaimana persaingan dengan kompetitor?

Persaingan banyak, pasti kualitas dan service yang kita tonjolkan. Kita juga personalize setiap customer. Jadi semuanya dengan permintaan customer.

Untuk desain ada berapa tim di RR?

Di kantor kita ada 10.

Apa target tahun ini?

Mengharumkan nama Indonesia. Kami masih mau lebih besar dan berpengalaman. Kami juga berencana bekerja sama dengan arsitek indonesia juga.

Apa fokus ordernya?

Target kami seluas-luasnya. (EVA)

The post Kakak Beradik Mengibarkan Renata & Robyn Atelier appeared first on Majalah SWA Online.

Bisnis Jamur Tiram Meraup Puluhan Juta Rupiah

$
0
0
Robbi Zidna Ilman,  CEO Growbox  (Photo by Tiffany)

Robbi Zidna Ilman, CEO Growbox (Photo by Tiffany)

Pertanian menjadi bisnis yang memiliki peluang tinggi untuk dikembangkan. Berbagai bisnis pertanian mulai dari sektor hulu ke hilir menjadi ladang pendapatan bagi para entrepreneur. Seperti Growbox. Usaha yang berbasis pertanian ini didirikan 2,5 tahun yang lalu oleh 4 orang dari latar belakang pendidikan yang berbeda.

Dimulai dari memenangkan perlombaan wirausaha yang diadakan sebuah bank, mereka meneruskan keinginan untuk membuat Growbox semakin berkembang. Berikut wawancara SWA Online dengan Robbi Zidna Ilman, salah satu CEO Growbox.

Bisa dijelaskan, Growbox itu produk yang seperti apa?

Growbox itu media tanam untuk jamur tiram. Dengan slogan Grow Your Own Food, kami mencoba menghasilkan jamur tiram yang dapat tumbuh di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Berbagai jenis jamur tiram dapat dibudidayakan, seperti tiram putih, tiram kuning, tiram biru, tiram coklat, dan tiram pink. Per box jamur kami menjual dengan harga Rp75 ribu.

Bagaimana ide awal sehingga tercetus Growbox?

Ide awalnya tercetus ketika kami berempat berkumpul setelah masing-masing lulus kuliah. Munculnya bahasan bahwa Indonesia itu negara agraris. Tapi sayangnya sektor pertanian di sini kurang berkembang, sedangkan konsumsi masyarakat semakin tinggi. Agribisnis justru tumbuh di Thailand.

Fenomena yang ada sekarang, petani rata-rata berusia 40 tahun ke atas. Karena yang muda mayoritas tidak mau terjun ke pertanian. Hal ini karena mereka menganggap pertanian kurang keren, dan banyak alasan lainnya. Oleh karena itu, Growbox kami buat dengan tujuan bagaimana agar dapat meningkatkan produk pertanian menjadi lebih baik. Kami ingin mengajak orang-orang untuk dapat menanam dimana saja, karena saat ini lahan sudah semakin sempit, dan sekarang urban farming sedang gencar. Dengan Growbox menanam menjadi lebih mudah dan menyenangkan.

Growbox sendiri hanya media tanam, lalu dari mana bibit jamur tiram tersebut didapatkan?

Untuk bibit kami mendapatkan dari petani jamur di Cianjur, Cisarua, dan Yogyakarta. Kami menyasar hingga Yogyakarta karena mayoritas petani hanya memiliki bibit tiram putih. Sedangkan kami juga mencari bibit tiram yang berwarna. Selain itu, mereka merupakan petani yang concern di jamur dan mau diajak bekerja sama dengan kita. Petani banyak yang sudah bisa mengembangkan jenis jamur, tapi mereka belum punya pasar. Nah kami berusaha menyediakan pasar tersebut. Kami bekerja sama dengan petani-petani itu dengan sistem beli putus. Petani mendapat harga yang lebih tinggi daripada harga di pasaran. Untuk harga pastinya, kami tidak dapat memberi dalam data angka pasti.

Setelah awal berdiri hingga saat ini, kendala apa yang dialami dalam mengembangkan usaha?

Kendala di awal pasti ada. Yang paling sulit adalah meyakinkan diri sendiri dan keluarga. Karena image orang kalau setelah lulus bekerja di jalur yang sesuai latar pendidikan. Tapi kami yakin dari SDM yang ada dan kami juga sudah sering bekerja sama saat masih kuliah, maka kami berani ambil keputusan untuk membuka bisnis sendiri. Apalagi sekarang banyak kompetisi bisnis yang bisa membantu para wirausaha pemula untuk terjun ke dunia bisnis.

Selain itu, kami mengalam hambatan dalam hal pemasaran. Saat pertama kali produk diluncurkan, masih belum banyak orang yang tahu tentang budidaya jamur. Mereka hanya tahu jamur kuping, dan jamur-jamur lain yang sering dijual di pasar. Kendala dalam media promosi juga sempat membuat kami sulit memasarkan produk ini. Tetapi saat ini, alhamdulillah media sudah banyak yang meliput, sehingga pemasaran kami juga sedikit banyak terbantu.

Masalah lain muncul ketika pemasaran mulai meluas, yaitu kendala produksi. Kami masih kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar. Pernah suatu kali setelah diliput oleh salah satu stasiun TV, banyak yang langsung memesan, tapi stok sedang kosong. Oleh karena itu, kami terus mencari petani ke berbagai daerah sehingga dapat memenuhi kuantitas.

Strategi pemasaran apa yang dipakai? Lalu sampai awal tahun 2015, sudah melakukan pemasaran ke mana saja?

Growbox melakukan penjualan melalui website (online) dan offline dengan menitip di beberapa toko di mall Jakarta, salah satunya Pondok Indah Mall. Kontribusi pendapatan dari online lebih besar dari penjualan offline. Kira-kira dalam persentase 80 persen dari online dan 20 persen dari offline.

Sampai awal tahun ini kami sudah berhasil memasarkan hampir ke seluruh Indonesia. Penjualan terbesar di Kota Jakarta, Bandung, Surabaya. Sedangkan pasar luar negeri, sudah ada permintaan barang dari Singapura, Thailand, dan AS. Mereka sudah tertarik tapi kami masih bingung untuk peraturan ekspor. Ekspor tidak langsung, Jepang, dan beberapa kota Eropa.

Apa strategi bisnis yang dijalankan hingga bertahan sampai saat ini?

Kami menyebutnya Zero Waste Management. Artinya, kami mengolah kembali limbah serbuk kayu menjadi baglog, yaitu media tanam berupa kayu gelondongan. Setelah growbox tumbuh, sisanya ditaburkan ke tanah jadi tanaman lebih subur. bata, panel, dll.

Inovasi apa yang akan dilakukan untuk terus mengembangkan bisnis ini?

Saat ini kami lsedang melakukan riset bisa atau tidak serbuk kayu tersebut jadi bahan bangunan. Sekarang lagi tahap awal pembangunan rumah percontohan di Bandung. Belum bisa dipublikasi karena rilis akhir tahun ini. Dari limbah serbuk kayu itu bisa membuat bata dan panel.

Apa target dari bisnis ini ke depannya?

Ke depannya kami ingin menyasar ke anak-anak SD. Kami akan membuat Growbox model edukasi. Omset kami saat ini Rp20 juta-40 juta/bulan, sehingga target lainnya adalah meningkatkan penjualan dari yang sekarang hampir 500-1000 box/bulan, serta menghasilkan jamur varietas lain. (EVA)

The post Bisnis Jamur Tiram Meraup Puluhan Juta Rupiah appeared first on Majalah SWA Online.

Bisnis Sosial Lusia Efriani untuk Para Napi Wanita

$
0
0

Membangun bisnis dengan misi sosial pastilah bukan perkara mudah. Bisnis seperti ini tidak semata mencari profit materi tetapi juga mengemban misi sosial tertentu. Hal inilah yang dilakukan oleh Lusia Efriani. Wanita kelahiran Surabaya 1 Agustus 1980 ini memberdayakan para narapidana wanita dan ODHA untuk memproduksi “Batik Girl” yaitu boneka barbie berbusana batik. Mereka bergerak dibawah naungan Yayasan Cinderella From Indonesia yang didirikan Lusia sejak tahun 2011.

Apa latar belakangnya dan bagaimana suka duka Lusia membangun bisnis sosialnya? Berikut wawancara reporter SWA Online, Arie Liliyah dengan Lusi Efriani.

Batik Girl - Lusia

Lusi Efriani

Apa yang melatarbelakangi Anda masuk ke bisnis sosial dan membangun Yayasan Cinderella From Indonesia?

Jadi mulanya saya adalah pengusaha UKM, usaha saya adalah produsen arang tempurung kelapa di Batam. Tetapi pada tahun 2009 saya mengalami beberapa masalah yang membuat usaha saya nyaris gulung tikar diantaranya peristiwa kebakaran. Dari sana saya lalu ikut komunitas pemberdayaan wanita khususnya wanita single parent, saya dan beberapa rekan menjadi pembina dalam komunitas itu, sambil saya menyehatkan kembali bisnis saya.

Di dalam komunitas itu kami memberikan ketrampilan bagi wanita single parent sebagai modal untuk mandiri. Dari situ saya kemudian terpilih untuk mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat, tepatnya tahun 2011.

Setelah pulang dari program tersebut saya kemudian berbagi ilmu dengan teman-teman komunitas wanita single parent, ternyata pesertanya bertambah banyak, lalu saya bangun Yayasan Cinderella From Indonesia tujuannya untuk wanita single parent yang tidak mampu dan ingin mandiri. Tetapi tahun 2013 ada tawaran untuk menjadi pembina bagi wanita narapidana. Akhirnya saya memenuhi permintaan itu. Pertama kali saya membina di Lapas Tanjung Pinang, Batam. Ada 20 narapidana wanita disana. Pertama kali kami produksi 300 boneka Batik Girl dengan modal dari kantong saya sendiri.

Saat ini boneka Batik Girl sudah dipasarkan ke mana saja?

Kami pemasarannya dengan misi “Satu boneka satu teman”. Sampai saat ini kami memasarkan lewa website, kami juga banyak mengikuti pameran di dalam dan luar negeri. Untuk luar negeri kami sudah mengikuti pameran di Amerika, Australia dan Malaysia. Dan dari sana saya melihat ternyata peminat dan apresiasi lebih tinggi di luar negeri. Contohnya ketika kami ikut pameran yang di Amerika, dalam sehari bisa habis hingga 100 boneka, sedangkan di dalam negeri, menjual 100 boneka baru bisa kami dapatkan dalam waktu 5 hari.

Apakah itu artinya pasar luar negeri lebih prospektif untuk Batik Girl?

Tidak juga, di dalam negeri tetap prospektif, karena ini adalah bisnis sosial sehingga yang menjadi fokus saya bukan berepa banyak yang terjual, tetapi saya lebih fokus ke berapa banyak orang yang menerima pesan sosial dari Batik Girl ini? Saya lebih suka mereka cukup membeli satu boneka tetapi kemudian mereka bisa menceritakan misi sosial Batik Girl ini ke teman, keluarga atau komunitasnya.

Produksinya sudah mencapai berapa buah saat ini?

Tahun 2014 kami menargetkan produksi 1.000 boneka tetapi ternyata kami bisa memproduksi hingga 1.500 boneka dan itu semuanya habis terjual lewat pameran di dalam dan luar negeri. Tahun ini juga kami masih pasang target jumlah produksi sama dengan tahun 2014.

Saat ini sudah berapa jumlah narapidana wanita yang bergabung menjadi perajin Batik Girl?

Total ada 100 napi, tepatnya ada 60 napi di Rutan dan Lapas di Batam. Kemudian ada 40Napi di Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Kami juga dibantu 41 orang volunteer.

Seperti apa sistem pembagian profit Batik Girl dengan para narapidana ?

Jadi boneka Batik Girl ini kami jual dengan harga Rp 100 ribu. Nah, kami bagi Rp 10 ribu per boneka per orang. Kemudian sisanya itu kami bagi dua untuk dikembalikan menjadi biaya produksi dan untuk yayasan. Untuk Yayasan itu kami alokasikan untuk 3 program lainnya yaitu pusat belajar gratis untuk ibu-ibu dari anak jalanan terutama yang single parent. Kedua, program pemberdayaan wanita ODHA dan bekas PSK. Ketiga, program untuk anak-anak jalanan.

Ke depan apakah ada rencana strategi pemasaran lainnya untuk Batik Girl ini ?

Iya, untuk saat ini kami sudah bekerjasama dengan Saung Angklung Udjo di Bandung. Jadi produk kami dijual untuk pengunjung yang datang ke sana. Ke depan saya sedang memproses kerjasama dengan Garuda Indonesia, untuk membuat Batik Girl edisi khusus untuk merchandise mereka. Selain itu saya juga mulai menjajaki perusahaan-perusahaan yang memiliki program CSR untuk bermitra dengan kami, khususnya untuk pemasarannya. (EVA)

The post Bisnis Sosial Lusia Efriani untuk Para Napi Wanita appeared first on Majalah SWA Online.

Tiga Kartini Bisnis Binaan YDBA Berbagi Cerita Sukses

$
0
0

20150421_113626

Kartini di masa sekarang, makin luas kesempatannya berkiprah mengembangkan kemampuan dan karyanya. Dunia bisnis menjadi pilihan menarik bagi wanita yang ingin terus berkiprah tapi tidak terikat ketat waktu kantor. Wanita dalam bisnis memiliki keunikan dalam pengelolaan bisnisnya. Inilah yang disampaikan tiga Kartini Bisnis Binaan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA), dalam seminar Inspiring Business Women kemarin dalam rangka memperingati Hari Kartini.

Ketiga Kartini Bisnis itu adalah Rosalina (pemilik dan pendiri PT Rekadaya Multi Adiprima), Anny Alkhusniaty (Pemilik bengkel R4 Fam Auto) dan Leony Agus Setiawati (Pemilik CV Azka Syahrani, pengusaha busana muslim). Ketiganya memiliki kesamaan dalam filosofi pengelolaan bisnis yaitu mengedepankan spiritualitas, kejujuran dan kerja keras tentunya.

Di depan 250 peserta yang hadir di Gedung Auditorium Lantai 3 PT Astra International Tbk, ketiganya berbagi inspirasi bagaimana mereka jatuh bangun membangun bisnis. Berbagai lapisan masyarakat mengikuti seminar ini, bukan saja wirausawati, dan ini yang pertama diadakan oleh YDBA, seminar yang focus pada pengusaha UKM wanita.

Rosalina, menceritakan bagaimana dia yang menikah muda tidak berhenti disitu saja, tapi terus mengembangkan diri, walau sudah punya anak, ia tetap meneruskan kuliah hingga sarjana ekonomi dia sandang. Sempat menjadi professional di UNDP-WTO, Lina sapaan akrabnya lalu melihat bahwa berbisnis adalah yang tepat ditengah kondisi harus seimbang mengurus keluarga. “Saya awalnya bisnis trading, kontrakgtor, lalu membuat komponen otomotif,” ujarnya.

Ia tekun membangun bisnis, ketika tahun 1995 awal ia dipercaya membuat dash board mobil Kijang tahun keluaran saat itu. Ia mengerjakannya sendiri dengan tangan. Kini perusahaannya sudah menjadi mitra 12 perusahaan otomotif skala besar, salah satunya Astra Group. Perusahaan ini pioneer penghasil produk insulator assy dush panel dan insulator door trim untuk kendaraan roda empat. Komponen tersebut telah diekspor ke luar negeri yang merupakan original equipment manufacturing.

Anny Alkhusniaty beda lagi. Pemilik bengkel R-4 Fam Auto ini mendirikan usaha awalnya menggandeng partner lain. Dia tidak ikut terlibat dalam bisnis itu. Mulai dari Bimbel, Warung makan hingga produk sampo. Tapi ternyata banyak kecewa, bahkan bisnis jadi sulit. Lalu pada 2005 ia mendirikan Fam Auto, dikelola sendiri, bahkan kini sudah mempekerjakan 35 karyawan dan 12 karyawannya diantaranya sudah mendapat rumah 12 unit bersubsidi darinya. Fam Auto mengedepankan kejujuran dalam pengelolaan bisnis. “Saya tidak mau terima kuitansi yang angkanya di mark up, justru dengan kejujuran, bisnis terus tumbuh bahkan dua kali lipat,” ujarnya yang menyebut 90 persen kliennya korporat besar di Jabodetabek.

Lalu ada Leony Agus Setiawati, pemilik busana muslim bermerek Azka ini, mengatakan ada 600 ibu rumah tangga yang bekerja dengannya dengan sistem kemitraan. Mereka tetap bisa bekerja di rumah mereka, tapi tetap bisa menambah penghasilan keluarga. Mereka membantu menyulam tangan produk baju rancangannya. Wanita lulusan IPB ini, tidak menyangka bisnisnya akan sebesar ini. Sempat jatuh, karena pengelolaan yang salah, ditinggalkan karyawan dan mesin-mesin jahitnya semua dijual, tapi ia tidak putus asa. Ia bangkit lagi, bahkan bisa membuat Azka menjadi brand busana muslim ternama karena memiliki ciri khas memadukan kain-kain nusantara. Merek Azka juga sudah di patenkan di HAKI.

F.X Sri Martono, Ketua Pengurus YDBA, berharap kehadiran ketiga narasumber tersebut dapat menginspirasi para pengusaha untuk terus mengembangkan bisnisnya dan mendorong mereka yang belum mulai untuk berbisnis. “Satu hal lagi, peserta seminar juga bisa mengetahui bahwa wanita juga bisa menjalankan bisnis dengan baik,” ujarnya. (EVA)

The post Tiga Kartini Bisnis Binaan YDBA Berbagi Cerita Sukses appeared first on Majalah SWA Online.

Dedy Rochimat Merintis Vivere Group Sejak Tahun 1984

$
0
0

Memulai sebuah usaha dan menjadikan besar, tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Begitu pula yang dihadapi oleh Dedy Rochimat, pendiri perusahaan dan anak perusahan Vivere Group. Pria kelahiran Pontianak, 22 Maret 1957 ini, lebih dari 30 tahun lalu merintis usaha furniture.

Dedy Rochimat

Ayah dari 3 orang anak yang juga pehobi makan dan nongkrong ini, berhasil mendirikan perusahaan yang sudah besar dan menjadi salah satu perusahaan furniture terbaik di Indonesia. Bagaimana Sarjana Teknik Sipil, Institut Sains dan Teknologi dan Master dari Prasetya Mulya, Bisnis School, Jakartaa  ini membangun usahanya, berikut ini penuturannya kepada Istihanah dari SWA Online.

Bagaimana Anda mengawali bisnis di Vivere Group ini?

Saya memulai bisnis ini di tahun 1984 dengan jumlah pegawai saat itu hanya 10 orang dengan nama PT Gema Graha Sarana Tbk (GGS). Saat itu, kami sudah memulai bisnis di bidang furniture. Kemudian bisnis kami berkembang dan di tahun 1993 kami membangun pabrik di daerah Lippo Cikarang.

Apakah Anda mengalami kendala saat membangun perusahaan ini?

Dalam berbisnis tentu saja ada hambatan-hambatan, kalau berbisnis tanpa kendala nantinya kita tidak akan belajar. Dalam berbisnis kendala adalah ujian yang seluruh pebisnis harus lewati, jika kendala tersebut tidak terlewati maka mereka akan tidak lulus menjadi pebisnis.

Saat saya membangun bisnis ini, kendala yang saya hadapi adalah naiknya harga kurs US$ yang menyebabkan bahan baku naik dan orderan untuk produk kami sedikit. Kedua hal itulah yang sering saya alami selama membangun usaha ini.

Kalau klien pertama Anda siapa?

Klien pertama saya Toyota Astra Motor di tahun 1986. Saat itu saya membuat sebuah pameran tunggal untuk The New Kijang Baru Full Pressbody.

Saat ini, Anda memimpin berapa perusahaan dan apa posisi Anda?

Saat ini saya memimpin empat perusahaan di Vivere Group ini, antara lain menjabat sebagai Presiden Direktur PT Laminatech Kreasi Sarana and PT Vinotindo Grahasarana, Presiden Komisaris PT Virucci Indogriya Sarana, PT Prasetya Gemamulia dan PT Vivere Multi Kreasi.

Apa kunci sukses Anda sampai memiliki perusahaan sebesar Vivere Group ini?

Kunci sukses saya sebagai pengusaha adalah kerja keras, menjadi seorang pengusaha tidak mau bekerja keras, tentu saja usahanya tidak akan bisa berkembang. Kemudian, integritas dalam sebuah perusahaan tentu sangatlah penting, karena tanpa adanya integritas perusahaan tidak akan pernah tumbuh dan berkembang dan yang terakhir adalah fokus. Saya membangun bisnis ini sejak awal adalah furnitur dan sampai saat ini saya masih tetap fokus terhadap bidang ini, walaupun saya juga berinovasi terhadap barang yang lain , tetapi bisnis utama saya tetap yang terbesar di furniture. (EVA)

The post Dedy Rochimat Merintis Vivere Group Sejak Tahun 1984 appeared first on Majalah SWA Online.

Ini Cara Pemerintah Dorong Tumbuhnya Wirausaha Baru

$
0
0

Ini saat yang tepat untuk memulai usaha. Jangan takut gagal, yang penting mau terus berinovasi agar produk yang dihasilkan laku terjual. Soal pembiayaan, jangan takut. Pemerintah kini siap mencurahkan lebih banyak energinya untuk mendorong tumbuhnya wirausaha baru di Tanah Air. Banyak anak muda atau lulusan baru ragu untuk memulai bisnis.

Modal menjadi kendala utamanya. Pemerintah pun mengakui kalau para pengusaha pemula (startup company) kesulitan memperoleh pendanaan. Untuk itulah, pemerintah siap merevitalisasi perusahaan modal ventura, yakni perusahaan yang tugas utamanya adalah menyalurkan pembiayaan untuk mereka yang baru merintis usaha.

Bagaimana caranya? Otoritas Jasa Keuangan tengah menyiapkan Venture Fund (dana untuk penguatan modal perusahaan modal ventura). Modal juga menjadi kendala pertumbuhan modal ventura tak sepesat tetangganya seperti perusahan asuransi, pembiayaan, dan bahkan perbankan Indonesia. Dengan skema penyertaan modal sementara (temporary equity participation), sesungguhnya modal ventura membutuhkan dana-dana jangka panjang.

“Sulit bagi perusahaan modal ventura untuk mencari pinjaman dari bank untuk kemudian dipakai untuk membantu pembiayaan perusahaan pemula. Bagaimana mungkin perusahaan yang baru dirintis sudah bisa menghasilkan dalam waktu 1-2 tahun. Setidaknya, membutuhkan waktu sekitar 5 tahun agar bisnis baru yang dikembangkan mulai menghasilkan,” kata Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-bank OJK di Jakarta, Senin (27/4).

Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-bank OJK (Foto: iST)

Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-bank OJK (Foto: iST)

Nantinya, Venture Fund akan berisi dana-dana jangka panjang yang berbiaya murah. Pemerintah akan mengupayakan pinjaman lunak (soft loan) dari lembaga keuangan asing seperti dari Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Dengan begitu, dana itu bisa disalurkan untuk membiayai para pengusaha pemula di Indonesia.

Selain dari skema pinjaman lunak, lanjut dia, pemerintah juga akan mendorong para investor insitutional untuk menempatkan dana kelolaannya di Venture Fund. Tentu saja penempatan dana ini tidak gratis, dengan kata lain, ada hasil pengembalian untuk setiap rupiah investasi yang ditanamkan. Pola ini telah berkembang di banyak negara seperti Jepang, Australia, dan Amerika. Tak heran, banyak wirausaha muda bisa tumbuh dan berkembang bagus di sana.

“Dana kelolaan asuransi dan dana pensiun, nature-nya adalah dana jangka panjang. Sangat untuk modal ventura yang khittah-nya adalah mendukung tumbuh kembang wirausaha baru di Indonesia. Setelah bisnis klien mereka tumbuh besar, baru mereka bisa melepaskan equity participation mereka dengan menjualnya ke investor lain atau kepada publik,” kata Firdaus.

Wakil Ketua Umum Bidang Perbankan dan Finansial Kadin Indonesia Rosan Roeslani menambahkan, persentase wirausaha baru di Indonesia hanya 1,64% dari total jumlah penduduk sekitar 250 juta, jauh lebih kecil dari nilai standar internasional sebesar 2%. Kalau dilihat dari pengusaha yang masih fokus pada inovasi dalam produksinya, angkanya di Indonesia lebih kecil lagi, yakni hanya 0,3%. “Angka itu jauh tertinggal dari Malaysia sebesar 2,1%, Korea Selatan 4,1%, Thailand 4%, China dan Jepang 10%, dan Amerika Serikat 12%,” katanya.

The post Ini Cara Pemerintah Dorong Tumbuhnya Wirausaha Baru appeared first on Majalah SWA Online.


Win Hasnawi, Memasarkan Kopi Gayo ke Jakarta

$
0
0

q11

Qertoef (baca: kertuf) Indonesia, penyalur raw material untuk Gayo Specialty Coffee ini memiliki sistem distribusi yang berbeda. Pemiliknya, Win Hasnawi, pria kelahiran Gayo, 18 November 1973 berhasil memotong supply chain yang melibatkan pemain tengah. Hal ini dikarenakan ia melihat banyak pemain tengah yang menyengsarakan petani kopi.

Meskipun telah sukses di Jakarta, ia tidak mau mengganti profesinya di KTP. “Di KTP , saya tetap menulis pekerjaan saya petani. Karena saya bangga menjadi petani,” ujarnya. Bagaimana awal terbentuknya Qertoef di Jakarta? Berikut penuturannya dengan SWA Online.

Mengapa diberi nama Qertoef?

Karena ketika orang berbicara tentang kopi adalah menyerap apapun yang berhubungan dengan kertuf. Dalam bahasa Gayo, Kertuf artinya kunyah. Kopi yang dikunyah. Asumsi saya kopi yang dapat dikunyah adalah kopi yang tidak banyak terkontaminasi hal-hal lain selain kopi.

Sejak kapan mulai berbisnis di industri kopi di Jakarta?

Qertoef masuk ke Jakarta tahun 2008. Sejak zaman nenek moyang, keluarga saya merupakan keluarga petani kopi, jadi sebenarnya bisnisnya sudah mulai dari dulu. Hanya saya baru mulai masuk ke pasar di Jakarta tahun 2008. Hampir 90% masyarakat Gayo merupakan petani kopi.

Berapa luas kebun kopinya?

Saya punya kebun pribadi di Takengon, Aceh Tengah. Luasnya sekitar 2 hektar. Tapi jika tanah keturunan kelurga saya disatukan, luasnya bisa mencapai 100 hektar.

Apa keunggulan kopi Gayo?

Kopi Gayo memiliki karakter kekentalan yang kuat sehingga menjadi basic coffee blend dunia. Dari segi rasa kopi Gayo memiliki rasa fruit chocolaty yang tidak dimiliki oleh kopi-kopi jenis lain.

Mengapa tidak melibatkan middle man dalam supply chain?

Ketika saya berjalan-jalan di kota saya lihat satu cangkir kopi harganya berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan satu kilogram cherry yang petani jual (1 kg Rp 2.000) sedangkan petani di daerah saya tidak makmur-makmur. Ternyata banyak pelaku-pelaku di tengah yang memanfaatkan jerih payah petani. Harusnya pemain tengan ini berlaku adil kepada petani.

Lalu orang hilir banyak yang semena mena. Contohnya ketika ada batu kecil satu, orang hilir pasti akan marah-marah. Mereka tidak memikirkan berapa milyar biji kopi yang disortir dengan manual. Jika ingin perfect bantulah petani. Bantu mereka dengan peralatan yang memadai. Toh nanti mereka juga yang akan menikmati hasilnya.

Jadi saya sendiri yang langsung membawa kopi dari Gayo ke Jakarta. Proses brewer dan roaster saya lakukan sendiri di gudang saya di Menjangan 3 A no 17 Pondok Ranji Ciputat Timur, Tangerang Selatan.

Berapa omset yang didapat dalam sebulan?

Untuk green bean per kilogram dijual Rp 90.000 – 150.000 dalam satu bulan saya bisa menjual 10-20 ton. Untuk roaster saya jual Rp 200.000 – Rp 250.000 per kg, karena masih nyoba-nyoba baru bisa terjual 100-300 kg. Roaster ditujukan untuk konsumsi di café dan private label.

Apa yang menjadi kendala dalam mengelola Qertoef?
Saya masih belum menegerti selling, manajemen, marketing dan branding. Saat ini saya sedang berkolaborasi dengan mahasiswa.Saya ingin Quertoef didengar orang sebagai produksi kopi, tidak hanya penyedia raw material.

Apa yang Anda lakukan untuk mengedukasi petani maupun orang hilir?

Saya mengadakan kelas gratis di gudang saya. Di sana saya ajarkan bagaimana cara membuat kopi dari cherry hingga menjadi secangkir kopi siap minum. Saya juga mengadakan trip ke Gayo. Tujuannya agar mereka tahu bahwa tidak gampang bekerja di hulu, kesusahan dan lebih menghargai jerih payah petani. Saya selalu memotivasi petani di Gayo bahwa orang kampung pun bisa sukses di Jakarta. Saya sering berbagi kiat dengan petani lain.

Disalurkan ke mana saja Qertoef coffee?

Saya punya café sendiri yang diberi nama Café Gayo Coffee di Cilandak Town Square dan Sumarecon Serpong, jadi sebagian untuk konsumsi café saya, lalu disalurkan lagi ke beberapa café yang lain, dan sebagain lagi diekspor ke manca negara.

Apa saja rencana pengembangan usaha Qertoef di 2015?
Di 2015 saya ingin agar kopi Gayo bisa seperti Starbucks. Saat ini produk Qertoef yang sudah berbentuk bubuk kopi sudah ada di beberapa tempat. (EVA)

The post Win Hasnawi, Memasarkan Kopi Gayo ke Jakarta appeared first on Majalah SWA Online.

Tekad Mulyati Gozali Memakmurkan Petani Anggur di Bali

$
0
0

Pendiri PT Sababay Industry, Mulyati Gozali, kadung jatuh cinta dengan Pulau Dewata, Bali. Selepas pensiun sebagai Presiden Komisaris dan Direktur Keuangan PT Gajah Tunggal Tbk, terbersit keinginan untuk menetap dan membesut bisnis di Bali. Bisnis winery akhirnya yang dipilih. Saat hendak meritis bisnis, ia justru prihatin melihat nasib para petani di bagian Utara Bali, yang merupakan sentra pertanian di pulau tersebut. Di wilayah ini memang minim turis dan penduduknya lebih banyak menjadi petani. Lain halnya dengan wilayah Selatan Bali yang lebih makmur berkat industri pariwisata.

Jutaan turis asing menyambangi Pulau Dewata. Dari hasil analisisnya, mereka menghabiskan 21 juta liter wine setiap tahunnya. Itu belum termasuk konsumsi pelancong domestik dan pebisnis yang rutin datang ke Bali. Namun, potensi besar itu tak bisa dinikmati para petani anggur di Bali Utara, penghasil buah yang menjadi bahan baku wine. “Bayangkan saja, petani di sana pendapatannya hanya Rp 1 juta per tahun. Padahal, mereka rajin, mau bekerja di lahan seluas 3.000 m2. Sayang, tengkulaknya banyak. Hasil panen anggur mereka hanya dihargai Rp 500 per kilogram,” katanya.

Pendiri PT Sababay Industry, Mulyati Gozali.

Pendiri PT Sababay Industry, Mulyati Gozali.

Hatinya pun tergerak ingin mengangkat derajat kehidupan para petani di Bali. Caranya, dengan memutus rantai distribusi. Dari hasil lawatannya ke mancanegara, ia akhirnya bisa memotret perbedaan petani anggur di Indonesia dengan sejawatnya di Thailand. Petani di Tanah Air diperlakukan tidak adil karena tengkulak hadir di empat-lima lapis distribusi hingga saat buah masuk ke kotak penyimpanan. “Itulah kenapa petani anggur di Thailand bisa kaya sedangkan di sini masih banyak yang miskin,” ujarnya.

Tekad Mulyati membangun bisnis wine sekaligus memakmurkan petani sudah bulat. Apalagi, pasokan anggur dari Bali Utara, tepatnya dari kawasan Buleleng sudah cukup memadai. Ada sekitar 1.000 hektare tanaman anggur di daerah tersebut. Sababay Wine akhirnya yang diproduksi di pabrik seluas 2 hektare pun meluncur ke pasaran. Demi memutus mata rantai tengkulak, pabriknya pun dibangun di satu lokasi dengan area perkebunan rakyat. “Kami juga memberdayakan petani agar bisa hidup layak dan mendapatkan hasil yang fair,” katanya.

Dengan pola perkebunan dan pabrik yang terintegrasi, para petani anggur di Bali Utara bisa menikmati harga lebih tinggi untuk hasil panennya, yakni Rp 5 ribu per kilogram, atau 10 kali lebih tinggi dari harga di tengkulak. Saat ini, total sudah ada 160 petani binaan Sababay Industry. Yang lebih menggembirakan hatinya adalah para petani binaannya kini bisa meraup hasil panen hingga Rp 100 juta per tahun. Sebuah angka yang tak pernah terbayangkan oleh para petani di wilayah Bali Utara.

“Lima tahun pertama, kami dorong petani untuk mandiri. Lima tahun kedua menjadi makmur. Saat ini, petani sudah happy, anak-anaknya bisa kuliah, punya banyak hewan ternak, dan lainnya,” ujarnya. (Reportase: Herning Banirestu)

The post Tekad Mulyati Gozali Memakmurkan Petani Anggur di Bali appeared first on Majalah SWA Online.

Marlin Sugama, Mendunia Berkat Animasi

$
0
0

Siapa bilang menikah muda berisiko? Producer dan Owner Main Studios, Marlin Sugama, telah membuktikan, menikah di usia 20 tahun tak lantas menghentikannya meraih mimpi menjadi animator, yang karya-karyanya mampu mendunia. Semenjak kecil, ia memang telah menyukai hal-hal yang berbau fantasi, seperti game, film kartun, novel, dan komik hingga dirinya tercebur ke dunia digital entertainment. Dunia animasi tak bisa lepas dari perhatiannya.

Producer dan Owner Main Studios, Marlin Sugama

Producer dan Owner Main Studios, Marlin Sugama

Sebagai tanda bakti, ia juga terpaksa mengabulkan keinginan orang tuanya untuk kuliah di jurusan ekonomi. Di sela-sela kuliah, ia bertemu pujaan hati, Andi Martin. Kebetulan, keduanya sama-sama menggilai dunia usaha. Kedua merintis usaha rental saat internet tengah booming. Tahun 2002, dua sejoli bertemu dengan investor yang menawarkan kerjasama membuat perusahaan game developer Altermyth Studio. Sayang, konflik internal membuatnya harus mengakhiri kerjasama.

Toh, Marlin tak patah arang, dan lantas mendirikan Main Studios bersama sang suami dan rekan kerja semasa di Altermyth Studios, yakni Mohammad Fardiansyah alias Fafan, yang telah mendedikasikan hidupnya di bidang animasi sejak 2001 silam. Main Studios bergerak di bidang animasi tiga dimensi (3D) dan punya tiga divisi utama, yakni Creative Director yang dipimpin Andi Martin, Divisi Technical Director di bawah asuhan Fafan.

Producer dan Owner Main Studios, Marlin Sugama

Producer dan Owner Main Studios, Marlin Sugama

“Saya sendiri membawahi Divisi Producer/Writer. Saat di Altermyth Studios saya juga berperan sebagai produser. Saya harus memastikan semua proyek on time, on target, dan on budget. Sehingga, everybody happy,” katanya.

Portofolio animasi pertama mereka adalah Hebring. Trio Marlin, Andi, dan Fafan mengikutsertakan Hebring ke berbagai kompetisi agar Main Studios lebih dikenal. Jalan untuk mendapatkan klien pun semakin terbuka lebar seiring kemenangan di kompetisi nasional maupun internasional. Karya-karya mereka hingga sekarang menjadi acuan komunitas animasi di Tanah Air. Main Studios terus berkembang dan kini mempekerjakan 12 orang, terdiri dari animator dan 2D artist.

Kini, Main Studios punya banyak lini bisnis. Tak hanya mengerjakan animasi 3D, tapi juga produksi film pendek, pembangunan karakter, infografis video animasi. Mereka juga memiliki dua divisi jasa animasi, yakni sebagai kontraktor yang mengerjakan animasi permintaan dari pihak lain, dan juga divisi pengembangan hak kekayaan intelektual berupa karakter, menciptakan dan mengembangkan tokoh Hebring dan Dazu.

“Main Studios fokus pada pengembangan animasi 3D yang mencakup pembuatan serial animasi sampai visual effect untuk film layar lebar. Setidaknya ada dua keunikan Main Studios. Pertama, Main Studios adalah salah satu studio animasi 3D terbaik di Indonesia. Kedua, Main Studios mahir dalam membuat karakter original,” katanya.

Senarai Penghargaan yang Diterima Main Studios

  • 2007 Winner Digital Animation Category – INAICTA (Indonesia ICT Awards), Jakarta
  • 2008 Winner Mobile Animation- KADIN MCAA Awards (Mobile Content Application and Animation), Jakarta
  • 2009 Winner of Digital Animation Category- INAICTA (Indonesia ICT Awards), Jakarta
  • 2009 Winner- TELKOM Indigo Fellowship, Jakarta
  • 2009 Winning Participant- ASIAGRAPH, Tokyo
  • 2011 Winner- TELKOM Indigo Venture, Jakarta
  • 2012 Finalist for Best Character Animation- Suzzane Awards, Amsterdam
  • 2012 Finalist Animation Category-INAICTA (Indonesia ICT Awards), Jakarta
  • 2012 Finalist Superhero- Stan Lee’s Foundation Create Your Superhero Challenge, USA
  • 2013 Winner Animation Category- Say Festival SAE Institute, Jakarta
  • 2013 Finalist Short Animation Category- XXI Short Film Festival, Jakarta
  • 2013 Nominee for Short Animation Category- Festival Film Indonesia, Semarang
  • 2014 Silver Winner for Digicon 6- Tokyo Broadcasting System Character Award- Jakarta, Indonesia
  • 2014 Winner Character- ASEAN Character Award, Tokyo, Jepang

(Reportase: Syukron Ali)

The post Marlin Sugama, Mendunia Berkat Animasi appeared first on Majalah SWA Online.

Windri W. Dhari, Angkat Pamor Busana Muslim

$
0
0

Busana muslim tak hanya sesuai syariat Islam, tetapi juga sedap dipandang. Desain busana muslim seperti tak ada matinya. Selalu ada desain yang baru nan menggugah rasa para penikmat seni di Tanah Air maupun kancah internasional. Salah satunya adalah label busana muslim premium NurZahra yang telah berhasil membuka toko sendiri di lantai satu Gedung Colony, Kemang Raya, Jakarta Selatan seluas 80 m2.

Windri W. Dhari, sang pemilik NurZahra kini bisa lebih leluasa mengeksplorasi desain busana muslim di studio barunya tersebut. Saat ini, pihaknya tengah mengerjakan produksi fashion dari bahan linen. Setelah sebelumnya desain hanya ditorehkan di bahan katun, sifon, dan tenun, NurZahra kini merambah bahan linen. “Tempatnya strategis. Kami bersyukur, manajemen gedung ini mau mendukung desainer lokal,” katanya.

Ya, perempuan berkerudung tersebut semakin percaya diri dengan bisnisnya dalam ajang Dewi Fashion Night yang digelar dalam Jakarta Fashion Week (JFW) November 2014, NurZahra sukses menembus deretan lima desainer fashion terbaik untuk tampil di catwalk. Pada akhir tahun lalu, NurZahra juga terpilih sebagai The Inspiring Hijab Designer garapan detik.com,” katanya.

Windri W. Dhari, pemilik label busana muslim premium, NurZahra

Windri W. Dhari, pemilik label busana muslim premium, NurZahra

Penulis buku dan kurator Islamic Geometric Design dari London, Eric Broug, yang bukunya sudah diterjemahkan dalam lima bahasa, merekomendasikan NurZahra menjadi nominasi di Pameran Islamic Geometric Design di Victoria and Albert Museum World, London. Victoria and Albert Museum World adalah museum seni dan desain terbesar di dunia.

Upaya Windri mengajak Eric berkolaborasi, dengan memakai beberapa desain dari buku Eric ternyata berbuah manis. Busana rancangan Windri itu kemudian dipakai saat Eric menjadi keynote speaker di sebuah forum seni dan desain. “Dari sana banyak yang tertarik, dia lalu berpikir merekomendasikan NurZahra jadi nomine pamerannya,” ujar wanita 45 tahun ini.

NurZahra sudah masuk dalam 200 nominasi yang nanti akan dipilih 10 desainer terbaik dan diumumkan pada Juni mendatang. Satu catatan prestasi yang sangat membanggakan untuk Windri. Sukses itu melengkapi prestasi NurZahra lainnya yakni masuk di gnossem.com, situs belanja online khusus untuk desainer independen dari seluruh dunia.

“Kami menjadi salah satu yang masuk ke sana,” ujar Windri yang kini juga tengah sibuk menggarap buku mengenai Islamic Geometric Design in Fashion, yang hendak diikutkan di Frankfurt Book Festival, Oktober 2015 mendatang.

Omset NurZahra meningkat 50% sepanjang tahun lalu seiring penambahan gerai dari tiga menjadi enam gerai, antara lain di Metro Department Store Pacific Place dan Alun-Alun Indonesia di Grand Indonesia, Jakarta.

Pada tahun ini, Windri akan menambah jenis produk, seperti aksesori, sandal dan tas wanita. Selain itu, juga akan mendesain wall art untuk NurZahra Flagship Store. Tahun ini pula Windri menargetkan jumlah produksi ditingkatkan hingga 50% karena pemasoknya pun sudah bersedia. “Kami juga mulai menggarap situs belanja online sendiri,” katanya. (Reportase: Arie Liliyah)

The post Windri W. Dhari, Angkat Pamor Busana Muslim appeared first on Majalah SWA Online.

Misi Sosial Novi Imelly

$
0
0

Masa kecil bahagia, muda kaya-raya, dan mati masuk surga. Siapa yang tidak senang dengan tahapan kehidupan sempurna seperti ini. Setelah lama merenda bisnis, banyak pengusaha yang telah mapan mulai tertarik mengembangkan kewirausahaan sosial (Social Entrepreneurship). Salah satunya adalah Novi Imelly, Direktur Utama PT Grha Kirana Development. Ibu tiga orang anak ini sudah 21 tahun malang-melintang di industri properti. Berbagai posisi penting pernah dipegang alumnus Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. Novi mulai meniti karier di industri properti sejak tahun 1994 silam. Ia sudah menjadi direksi pada tahun 2002, di usia yang terbilang muda, 32 tahun. Selama 13 tahun terakhir, ia sudah merasakan kursi empuk direksi di tiga perusahaan berbeda.

“Selepas lulus kuliah, saya merintis karier di Bumi Serpong Damai selama 5 tahun, lalu pindah ke Lippo Karawaci sekitar 5 tahun juga. Selama 5 tahun berikutnya, saya bergabung dengan Modernland. Saya melihat posisi perusahaan sudah mulai establish. Awal saya masuk, penjualan perusahaan kurang dari Rp 100 miliar. Dalam waktu 4-5 tahun kemudian, penjualan meningkat sampai Rp 450 miliar,” katanya.

Novi Imelly, Direktur Utama PT Grha Kirana Development

Tepatnya, tujuh tahun lalu, Novi memutuskan hijrah ke Cowell Development Tbk. Ia telah merasakan seluruh level jabatan di sana, mulai dari Marketing and Business Development, merangkap Operational Director, lalu Chief Operating Officer, kemudian Managing Director, dan terakhir President Director. Saat di posisi tersebut, ia merasa sudah saatnya untuk berhenti dan memulai bisnis sendiri. “Kebetulan, suami saya juga sudah mulai merintis usaha sendiri pada tahun 2007. Saya berpikir sudah 21 tahun menghabiskan waktu di perusahaan-perusahaan besar. Saatnya resign,” ujarnya.

Kemudian, Novi mendirikan PT Grha Kirana Development. Saat ini, ia tengah menggarap dua proyek. Pertama, proyek di Serpong, Kirana Residence seluas 5.000 m2. Sudah ada 44 unit rumah yang mulai terjual. Proyek kedua di kampung halamannya, Kota Medan. Ia mengakui itu adalah proyek idealis dirinya. Selama kariernya, baru kali ini dia bisa menemukan kebahagiaan membangun proyek berisikan rumah bertipe sangat sederhana (RSS). Ia turut merasakan kebahagiaan konsumen mendapatkan rumah pertamanya dengan susah-payah, menjual motor, membayar uang muka (DP), hingga berjibaku keluar dari rumah kontrakan dan tinggal di rumah sendiri meski tidak besar.

“Saya tidak bisa melakukan itu saat saya masih profesional karena punya tanggung jawab untuk memenuhi target-target perusahaan. Selama karier, saya banyak menangani proyek properti kelas menengah ke atas. Kalau di perusahaan sendiri, saya bisa mengembangkan social entrepreneurship. Kita tetap berbisnis dan mengambil keuntungan tapi pada batas toleransi yang cukup. Tujuan utamanya, saya ingin menyediakan perumahan yang terjangkau bagi mereka yang selama ini terkendala pada mahalnya harga dan ketiadaan rumah jenis tersebut,” katanya. (Reportase: Destiwati Sitanggang)

The post Misi Sosial Novi Imelly appeared first on Majalah SWA Online.

Viewing all 430 articles
Browse latest View live